Dua puluh lima tahun sudah usia pernikahanku. Alhamdulillah, aku telah dikaruniai empat orang anak, Firdaus (23 th), Nikmah Syahidah (20 th), Nurul Azizah (10 th), dan Akhmad Fikri (3 th). Kami merasa cukup dengan apa yang kami miliki, walaupun secara materi kehidupan keluarga kami sangatlah pas-pasan. Bahkan dengan penuh perhatian, istriku selalu membimbing dan mengingatkan anak-anakku untuk selalu bersyukur kepada Allah atas nikmat-Nya. Itulah yang membuat aku ikhlas untuk meninggalkan mereka demi untuk dakwah Islam. Aku tidak merasa gentar dengan semua cobaan yang menimpa mereka karena Allah-lah yang akan menjadi penolong dan pelindungnya.
“Bi, ada telpon ! “panggil Nikmah.
Panggilan Nikmah membuatku harus menghentikan pekerjaanku. Bergegas aku menuju ke telpon. Setelah kuterima telpon, aku menghampiri Nikmah yang sedang menyuapi Fikri. ” Nikmah, Ummi mana ?” tanyaku pada anak perempuanku yang selalu membantu Umminya merawat adik-adiknya.
“Di belakang Bi, sedang nyuci pakaian”, jawab Nikmah.
Benar, kudapati istriku sedang mencuci pakaian. Walaupun begitu, tak pemah kulihat istriku mengeluh ataupun marah karena kerjaan di rumah begitu banyak. Bahkan di depanku dan anak-anak selalu menampakkan wajah yang ceria, walaupun kondisi badannya sedang letih dan tidak enak badan. Ya..Allah, aku bersyukur kepada-Mu di masa yang sulit ini istriku masih tetap tabah dan sabar.
Memang, semenjak pimpinan di perusahaan tempat aku kerja mengetahui aku terlibat dengan gerakan yang ingin menerapkan hukum-hukum Allah dengan cara menegakkan Khilafah Islamiyyah–, pimpinanku langsung mem-PHK-ku. Apalagi, semenjak penguasa negeri ini bekerja sama dengan AS dan sekutu-sekutunya untuk menumpas habis para dai yang ingin memperjuangkan Islam. Semua lapangan pekerjaan menjadi tertutup. Banyak dari kalangan pejuang Islam yang kesulitan mencari nafkah untuk keluarganya. Bahkan anak-anak mereka pun tidak bisa sekolah, termasuk anak-anakku.
“Mi!” panggilku dengan lembut, seraya memegang tangannya. Sejenak aku merasakan betapa kasar tangan istriku, karena semua pekerjaan berat dia kerjakan sendiri. Berbeda pada waktu ketika kami baru menikah, kami masih sanggup mempekerjakan pembantu.
“Ummi capek?” tanyaku penuh perhatian.
“Nggak kok, Bi. Cuma kurang tidur aja, semalam Fikri nangis terus. Badannya panas.? Tapi, Alhamdulillah, sekarang Fikri sudah nggak apa-apa.” jawab istriku datar.
“Bener, Ummi nggak apa-apa?” tanyaku dengan nada tidak percaya.
“Duuh, Abi masak nggak percaya sih sama Ummi” ia meyakinkanku.
“lya deh percaya,” sahutku.
“Masak sih Abi nggak percaya sama Ummi. Ummi itu kan orangnya tegar, rajin, cantik, pinter, penyayang, pengertian, keibuan lagi.” godaku.
“Ah, Abi. Ummi jadi malu nih, dipuji gitu!” wajah istriku merah merona. Walaupun dalam kondisi yang sulit ini aku berusaha menghibur hati istriku. Karena semenjak situasi negeri ini berubah, istriku lebih banyak di rumah.
ooOoo
“Fikri, ayo mulutnya dibuka! Ak … ak … emm!” bujuk Nikmah kepada Fikri seraya menyuapi.
“Hayo … tinggal dua sendok lagi. Cepet dihabiskan, nanti keburu
dimakan mbak Nurul Iho.”
“Mbak, minta dong, Fik!” goda Nurul yang dari tadi sedang asik dengan buku Sirah Nabawinya.
“Tuh… kan, mbak Nurul minta! Ayo, buka lagi mulutnya.” seru Nikmah,
“ak … ak, iya pinter. Kalau makannya banyak nanti cepet besar, biar bisa nemenin
Abi.”
Terus terang aku merasa bangga dengan anak-anakku. Semua tumbuh dan berkembang dengan norrnal. Aku tidak mau membeda-bedakan kasih sayang di antara mereka. Aku ingin memberikan yang terbaik untuk mereka. Aku tidak hanya ingin anak-anakku mulia di mata manusia, namun lebih dari itu aku ingin mereka mulia di sisi Allah. Aku ingin mereka menjadi pengemban dakwah. Aku ingin mereka menjadi pejuang-pejuang Islam. Karena dengan Islamlah mereka akan mulia.
Alhamdulillah, keinginan seperti ini bukan hanya keinginanku, ternyata istriku juga bercita-cita demikian. Memang aku dan istriku berasal dari latar belakang yang sama, yaitu sama-sama aktivis dakwah. Maka wajarlah kalau keinginanku dan keinginan istriku sama. Dan aku pikir memang harus seperti itulah cita-cita kaum muslimin.
“Bi, … Abi kok bengong?” sapa istriku,
” Nih, Ummi bikinkan teh hangat. Di minum dulu Bi biar badan lebih enakan.”
Entah, setiap aku melihat wajah istriku, aku semakin sayang. Bahkan, seakan-akan semua masalah jadi hilang. Terlebih lagi, kalau aku memandang wajahnya hatiku menjadi tentram.
“Bi, Abi kok bengong lagi? Abi, mikirin apa? ” Tanya istriku dengan lembut.
“Nggak kok, Mi.” jawabku datar.
“Abi cuma mau ngomong sama Ummi, kalau sebenarnya Abi itu…….” sengaja aku tidak melanjutkan kata-kataku, supaya istriku penasaran.
“Sebenarnya apa Bi? tanya istriku penasaran. Aku pun tetap diam.
“Aah Abi…. Ummi jadi semakin penasaran nih,” kata istriku tidak sabar.
“lya deh, sebenarnya…. Abi itu…..” kembali aku tidak melanjutkan kata-kataku, supaya istriku bertambah penasaran.
“Tuh kan, Abi mulai lagi.” gerutu istriku dengan manja.
“lya deh, ini beneran.” Kataku membujuk. Sambil memandangi wajahnya kupegang tangannya, aku pun melanjutkan kata-kataku.
” Mi…, sebenamya Abi itu sangat sayang sama Ummi. Abi cinta sama Ummi.”
Kulihat wajah istriku merah merona seraya menundukkan wajahnya karena malu dan mungkin bahagia. Aku pikir untuk menunjukkan kasih sayang kepada istriku tidak cukup dengan perbuatan, tapi harus dengan kata-kata pula. Entah kenapa, yang pasti menurutku hal ini sangat penting untuk dilakukan para suami kepada istri mereka.
ooOo
“Nurul, Mas Daus sama Mbak Nikmah mana?” tanya istriku kepada Nurul. Memang seperti biasanya setelah sholat Isya’ berjamaah kami melanjutkan makan malam bersama. Disinilah, biasanya kami saling berbagi cerita, sekaligus aku jadikan untuk forum tausiyah bagi anak-anakku.
“Firdaus, bagaimana …. sudah sholat istikharah dan dipikir masak-masak rencanamu untuk mengkhitbah teman adikmu itu?” tanyaku membuka forum tausiyah.
“Sudah Bi.” jawab Firdaus.
“Daus sudah mantap dengan pilihan Daus. Lagi pula dia juga dakwahnya bagus.”
“Ya…, kalau memang itu pilihanmu dan kamu juga sudah mantap, Abi sama Ummi setuju saja.” Kataku kepada putraku yang sulung ini.
“Abi sama Ummi cuma bisa mengingatkan saja kalau orang berumah tangga itu tidak sama dengan ketika kita berjalan di jalan aspal yang mulus. Pasti akan ada saja cobaan dan godaan.”
“Daus, orang menikah itu tidak cukup hanya berbekal kemampuan biologis dan harta, namun yang harus diperhatikan pula adalah kesiapan ilmu dan mental untuk menghadapi segala sesuatu.” timpal istriku.
“Dan itu tidak hanya dari satu pihak namun harus berasal dari kedua belah pihak, suami dan istri.”
“Apalagi, di jaman dan situasi seperti sekarang kita harus sabar dan tabah,” ujar istriku melanjutkan nasehatnya.
“Daus, apa yang disampaikan oleh Ummi itu benar. Oleh karena itu ingat baik-baik pesan Ummi.” Ujarku menegaskan.
“Kalau begitu, besok kamis, kita datang ke orang tuanya.”
“Kalau begitu, biar dik Nikmah saja besok yang ngasih tahu ke Aisyah kalau kita mau ke sana.” pinta Daus ke adiknya.
ooOoo
“Mi, anak-anak sudah ngumpul di ruang tengah?” tanyaku pada istriku.
“Sudah Bi.”
Sesaat aku menjadi ragu. Karena aku tidak tega kalau anak-anakku sedih apalagi shock. Tapi Istriku meyakinkanku kalau mereka insya Allah siap menerima kenyataan ini. Dengan didampingi istriku aku pun keluar kamar untuk berbicara dengan arak-anakku, terutama Firdaus, Nikmah dan Nurul.
“Kalian tahu kenapa Abi mengumpulkan kalian sekarang?” tanyaku kepada anak-anak.
“Tidak Bi.” Jawab mereka hampir bersamaan.
“Sebetulnya ada berita yang ingin Abi sampaikan kepada kalian.” tegasku.
“Kita semua tahu, kalau kita ini hidup untuk beribadah kepada Allah Swt.” ujarku berusaha menjelaskan kepada mereka.
“Nurul sudah pemah dikasih tahu sama Ummi?” tanyaku kepada Nurul.
“Sudah Bi.” Jawab Nurul sambil menganggukkan kepalanya.
“Dan makna kebahagiaan bagi kita sebagai seorang muslim yang sebenamya bukanlah dengan mendapatkan harta yang banyak, bukan pula dengan mendapatkan wanita yang cantik atau pria yang tampan, bukan pula dengan mendapatkan jabatan dan kekuasaan, dan juga bukan mendapatkan popularitas,” aku melanjutkan penjelasan.
“Kebahagiaan bagi kita yang sebenarnya adalah apabila kita dizinkan oleh Allah masuk ke surga-Nya”.ucapku sainbil memperhatikan wajah anak-anak.
“Dan untuk bisa masuk ke dalam surga haruslah mendapat keridhoan dari Allah. Dan keridhoan Allah hanya bisa kita dapatkan kalau kita mau menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya.”
“Dakwah adalah salah satu aktivitas yang diwajibkan oleh Allah kepada seluruh kaum muslimin. Tidak terkecuali Abi”. Begitulah aku berbicara panjang lebar berusaha untuk memberitahu hal yang sebenarnya. Sesekali aku melihat wajah Nurul yang tampak serius dan tegang. Mungkin karena dia belum begitu mengenal dunia dakwah yang sebenamya. Nurul menjadi agak tegang. Ini berbeda dengan kedua kakaknya yang sudah mengenal betul dunia ini..
“Abi yakin kalian sudah paham mengenai perkara ini. Dan itulah aktivitas Abi yang sebenarnya. Abi tahu benar risiko yang akan dihadapi, tapi tak sedikitpun Abi takut,” ujarku meyakinkan mereka.
Semakin lama aku menjelaskan seakan-akan mulut ini semakin berat untuk mengucapkan. Dan hatiku merasa tidak tega menyampaikan berita ini kepada anak-anak. Tapi bagaimana pun juga, mereka harus tahu.
“Daus … Nikmah …. dan Nurul … dua hari yang lalu teman Abi ditangkap oleh aparat kepolisian ketika usai sholat shubuh di masjid Al-Hasanah. Bukan hanya dia, Ustad Is dan Abu Raihan juga ditangkap,” aku berusaha menjelaskan.
“Mereka ditangkap karena aktivitas dakwah yang mereka lakukan.” Sambil menarik nafas dalam-dalam aku melanjutkan kembali penjelasanku.
“Sekarang ini, teman-teman Abi dan juga Abi sedang di mata-matai oleh Intelijen.”
Kulihat mata Nikmah mulai merah seakan-akan menahan air matanya. Tapi aku tetap melanjutkan kata-kataku.
“Oleh karena itu, untuk sementara Abi tidak bisa tinggal bersama kalian. Abi harus berpindah-pindah tempat untuk menghindari intaian intelijen. Segala urusan dan keperluan sehari-hari kalian akan dibantu oleh paman Ali.”
Aku melihat air mata Nikmah dan Nurul mulai membasahi pipinya. Kuhapus air mata mereka satu persatu seraya mendekap mereka. Kudekati Anakku Firdaus, kupeluk ia erat-erat.? Tak terasa air mataku pun berlinang.
Keesokan harinya setelah sholat shubuh berjamaah, aku masuk ke kamar menemui istriku yang sedang menyiapkan pakaian yang akan kubawa. Kulihat air matanya membasahi pipinya.
“Mi.., Ummi jangan menangis. Ummi harus ikhlas mengahadapi semua ini.” Aku berusaha menegarkan hati istriku.
“Abi minta maaf kalau selama ini Abi mengecewakan Ummi. Abi minta maaf kalau Abi tidak bisa memberikan apa-apa untuk Ummi. Abi juga minta maaf kalau selmna ini Abi belum bisa membahagiakan Ummi dan anak-anak” ucapku.
Tak terasa dadaku basah oleh air mata istriku. Aku bisa merasakan betapa sedih hatinya.? Belum pemah aku melihat istriku menangis seperti ini.
“Menangislah Mi……. menangislah! Keluarkan semua air mata Ummi, biar hati Ummi menjadi lega.”
Setelah istriku selesai menangis, kudekap istriku seraya membisikkan, “Kalau Ummi masih ingin menangis, menangislah. Tapi Abi berpesan, setelah Abi pergi Ummi jangan pernah menangis. Ummi harus tegar menghadapi semua ini.” Kulepaskan dekapanku perlahan-lahan lalu kugandeng tangannya kuajak keluar dari kamar untuk berpamitan dengan anak-anakku.
Kulihat diruang tengah, anak-anak sudah menungguku.
“Nurul…., Nurul harus jadi anak yang baik ya. Bantu Ummi sama Mbak Nikmah. Jadilah Nurul seperti Fatimah binti Muhammad saw.,” ucapku lembut. Kucium pipi Nurul yang basah oleh air matanya. Kudekap erat tubuh mungil Nurul dan dia pun membalas pelukanku. Dalam hati aku bersyukur kepada Allah kalau aku sudah diberi istri yang shalehah dan anak-anak yang shaleh dan shalehah pula.
Kulepaskan pelukanku perlahan-lahan dari tubuh Nurul. Aku berdiri mendekati Nikmah yang dari tadi menangis sambil memeluk Umminya. Kupandangi Istriku yang dari tadi berusaha menenangkan Nikmah.
“Nikmah…, ayo lihat ke Abi” kata istriku dengan lembut sambil menghadapkan wajah Nikmah kepadaku.
Kulihat mata putriku yang pertama ini sembab dan berwama merah. Kudekap ia erat-erat sambil berkata,” jangan menangis. Setiap perjumpaan pasti akan ada perpisahan. Nikmah harus ikhlas menghadapi semuanya. Serahkan semua ini pada Allah”
Kulepaskan dekapan Nikmah perlahan-lahan, sambil kuseka air mata di pipinya. Perlahan-lahan kudekati anakku yang paling sulung. Berbeda dengan adik-adiknya, kulihat Firdaus lebih tegar menghadapi kenyataan ini. Kudekap juga anakku yang sulung ini.
“Jangan kecewakan Abi. Kamu harus menjadi pembela Islam. Kamulah satu-satunya harapan Abi saat ini. Jaga adik-adikmu dan Ummi,” tegasku.
“Kamu harus tegar dan sabar.” Kukecup keningnya sebagai tanda perpisahan.
Sebelum pergi, kuhampiri Istriku. Kukecup keningnya dan berpesan, “Jaga baik-baik anak-anak kita. Jadikan mereka seperti para sahabat Rasulullah. Jadikan mereka sebagai pembela dan pejuang-pejuang Islam.”
Kubuka pintu rumah perlahan-lahan, sambil memandangi mereka kuucapkan salam. Semakin jauh langkahku meninggalkan mereka, semakin yakin pula kalau kami akan bertemu lagi. Wahai Istriku dan anak-anakku, kalaupun di dunia kita tidak bisa bertemu lagi, kutunggu kalian di surga.
0 komentar:
Posting Komentar